Pagi yang
begitu dingin. Hujan terlalu setia untuk meninggalkan bumi, menghujam bumi
dengan segala yang ia miliki.
Angin
bertiup perlahan, pucuk pepohonan bergoyang, mengikuti irama yang alam
tawarkan. Embun tebal menutupi jendela, tinggalkan kesan dingin dan terlupakan.
Ini adalah
sepotong kisah yang menautkan kita. Bukan
tentang kesendrian yang berusaha membuatku merasa bosan setengah mati.
Kamu tahu,
rindu adalah perasaan yang akan selalu mengendap dalam dada. Tidak akan
terhenti.
Apakah kamu
menatap langit yang sama seperti yang kutatap sore kemarin? Saat angin
menghembus kencang, menusukku, mengibaskan pakaianku layaknya seorang dewi yang
turun dari langit. Hahaha, agaknya aku terlalu berlebihan.
Bukan, aku
tidak membayangkan kamu sebagai pangeran berkuda putih, tidak! Aku hanya
menyorongkan kedua tanganku ke angkasa, berusaha menggapai langit. Barangkali
di sana, kamu melakukan hal yang sama.
Saat aku
menangkupkan kedua tanganku di dada, apa kamu merasakan hembusan angin yang
membawa do’aku untukmu? Apa kamu merasakan desiran bayu di sekelilingmu?
Ah, pagi
ini terasa begitu sesak. Bukan hanya suhu yang memaksaku masuk ke dalam
cangkangku, tapi juga rindu. Begitu sesak di dada.
Adalah masa
depan, yang menghantuiku. Perasaan macam apa yang sanggup meluluhkanmu? Tidak
ada. Kamu tetap berdiri tegak, takmenghiraukan aku sama sekali. Bukan aku, yang
ada dalam hatimu.
Mari kita
beranjak pada siang—yang masih saja begitu dingin. Menghentikan otakku, yang
berusaha menuliskan puisi tentang kamu. Mungkin, beberapa tahun lagi aku akan
menyesal telah menuliskan sajak-sajak itu untukmu, mungkin.. Atau, aku begitu
tersentuh dengan tulisan-tulisanku yang begitu naΓ―f. Atau..segala kemungkinan lain
yang memenuhi otakku.
Suara tawa
di luar sana menjadi selingan di antara lagu-lagu yang terus terputar
berulang-ulang. Satu demi satu meluluhkan tetes panas yang menyelinap dari
ujung-ujung kelopak mataku. Hey, bisa
kau dendangkan satu lagu untukku? Atau tidak sama sekali.
Hatiku
hancur di sela-sela riuh rendah tawa di luar sana. Memunguti serpihannya,
terasa jauh lebih menyakitkan. Katakan, “Selamat tinggal!”
Nyayian
yang terus meninabobokanku dalam perih.
Namamu.
Apakah ini
semua akan menjadi lebih buruk? Aku tidak tahu.
Aku masih menunggu datangnya sore, sore lain
yang terus menggerus semangatku. Yang lebih beku dari pagi ini. Yang terlalu
pedih untuk diungkapkan, terlalu mengiris-iris luka lama dengan luka baru, lebih dalam dan lebih pilu.
Semalam,
tiada bintang di kelam gelap..begitu juga malam kemarin, kemarin dan kemarin.
Malam nanti? Esok? Siapa yang tahu? Suara
katak bersahut-sahutan, mengingatkanku akan semesta. Yang merindu
padamu. Yang meninggalkan kesendirian sebagai pelukan terhangat.
Impian?
Siapa yang bermimpi? Aku? Kamu? Tidak kulihat kata ‘kita’ terselip di sana.
Kursor
terlihat berkedip-kedip di layar notebook-ku,
mengingatkan aku akan kisah yang kualami, sedang dalam perjalanannya menjadi sebuah
cerita bagi khalayak umum. Mungkin hanya menjadi kisah yang akan dicampakkan
pembacanya, mungkin akan berakhir di keranjang sampah, mungkin juga berakhir
tanpa ada seorangpun yang mengetahui keberadaannya. Kecuali Tuhan, aku dan
mungkin hati kecilmu.
Ah,
kata-kata. Kemana perginya kalian? Bagaimana mungkin kalian bersembunyi, dari pemilik
luka yang berusaha sekuat tenaga untuk sembuh? Bagaimana mungkin, kalian pergi
dari pujangga yang bersedih hati?
Kabut tebal
menutupi pandangan. Mungkin yang aku butuhkan hanyalah secangkir teh panas
tanpa gula dengan hamparan hutan pinus di depan mata. Menggigil bukanlah
favoritku, tapi apa peduliku, selama aku takharus teringat akan pedih yang
terus menghantui? Aku menemukan sosokku berjalan di antara pohon pinus yang
basah. Hujan yang melakukannya.
Mungkin,
esok hari, aku akan terbangun dalam tubuh asing yang tak kukenali . Atau,
terbangun sebagai seekor burung gereja di atas sarang sederhana di balik
genteng rumah petani tua di lereng bukit sana. Atau, menjadi sesosok alien aneh
dengan kulit bercahaya yang menginvasi planet asing. Aku takpeduli, selama aku
takharus teringat akan senyumanmu.
Atau aku
akan terbangun di lorong-lorong Kota London, dengan pakaian compang-camping dan
wajah memelas memohon belas kasihan. Atau, terbangun di atas perahu kecil yang
terhanyut di kota air Venice, atau, menjadi salah satu pelacur dengan dandanan
sensual yang dipajang di jendela-jendela Kota Amsterdam. Ah...aku takpeduli,
selama aku takharus terbayang oleh citra punggungmu yang kekar.
Tapi siapa
aku? Yang berjalan terseok-seok di antara kenangan? Yang menangis dalam bisu?
Yang hancur berkeping-keping?
Ah,
seandainya kaulihat, lumut yang begitu mesra menyelubungi pohon-pohon pinus di
sini. Atau hujan yang tidak pernah alpa merintik, menderas dan mengepung bumi.
Atau rasa dingin yang senantiasa memeluk hangat para penduduk desa. Dan, ah,
mengapa terlalu rumit bagiku untuk membayangkan hangatnya sosokmu? Apa kamu
mendekap udara yang sama seperti yang kudekap? Apa kamu menghirup aroma hujan
seperti yang telah berulangkali aku hirup?
Aku masih
menggigil kedinginan, dengan jemari yang terasa kebas. Ha! Betapa beraninya
alam mencuri oksigen untuk otakku? Atau aku melihat sosokmu yang berjalan
perlahan ke arahku—
***
Well-written. :)
BalasHapus