Terbangun dan merasa sendiri. Pagi yang membekukan, angin pun terlampau keras, menampar pipinya yang kemerahan.
"Aku melayang tinggi di angkasa dan terhempas, keras. Hancur..!"
Perasaan ini.
"Mungkin sebaiknya aku mundur perlahan dan melihatmu bersama dia. Dia yang serasi untukmu."
Dan memilih untuk mematahkan hatinya..
Kesendirian ini.
"It's ok. Aku terbiasa hidup dalam kesendirian, kok.."
Bagaimana pun yang telah terjadi, terjadilah. Tidak mungkin untuk mengulanginya.
Kamu memilih untuk tidak memaafkannya.
"Seribu maaf telah kuucapkan, apa lagi yang harus kulacurkan untuk mendapatkan kembali hatimu..?"
"Kemana perginya rindu?"
"Ke sauhan tanpa tujuan." ucapnya lirih, pada diri sendiri, "jika saja..."
Mereka berakhir tanpa saling sapa.
"Sepertinya kamu lupa atas semua yang pernah kita miliki."
Tidak ada lagi sapaan manis di pagi hari. Tidak ada lagi senyum yang menghangatkan.
Relung jiwanya memberontak. Hatinya mati di lipatan waktu yang lain. Suatu masa, ia bertekad, untuk mengumpulkan kembali serpihan hatinya yang tercecer.
"Aku cukup tegar menjalani kesendirian ini," tersenyum penuh tekad, wajahnya merah karena terbakar semangat, "aku bisa."
Lihatlah, betapa indah sinar di wajahnya. Matanya, tersimpan energi yang sanggup melumerkan hatimu.
Dan menikmati semua fase yang telah Tuhan tawarkan padanya.
"Karena di balik mendung dan badai yang kejam, ada sinar mentari yang menungguku..."
Senyumnya mengembang. Manis.
"Aku melayang tinggi di angkasa dan terhempas, keras. Hancur..!"
Perasaan ini.
"Mungkin sebaiknya aku mundur perlahan dan melihatmu bersama dia. Dia yang serasi untukmu."
Dan memilih untuk mematahkan hatinya..
Kesendirian ini.
"It's ok. Aku terbiasa hidup dalam kesendirian, kok.."
Bagaimana pun yang telah terjadi, terjadilah. Tidak mungkin untuk mengulanginya.
Kamu memilih untuk tidak memaafkannya.
"Seribu maaf telah kuucapkan, apa lagi yang harus kulacurkan untuk mendapatkan kembali hatimu..?"
"Kemana perginya rindu?"
"Ke sauhan tanpa tujuan." ucapnya lirih, pada diri sendiri, "jika saja..."
Mereka berakhir tanpa saling sapa.
"Sepertinya kamu lupa atas semua yang pernah kita miliki."
Tidak ada lagi sapaan manis di pagi hari. Tidak ada lagi senyum yang menghangatkan.
Relung jiwanya memberontak. Hatinya mati di lipatan waktu yang lain. Suatu masa, ia bertekad, untuk mengumpulkan kembali serpihan hatinya yang tercecer.
"Aku cukup tegar menjalani kesendirian ini," tersenyum penuh tekad, wajahnya merah karena terbakar semangat, "aku bisa."
Lihatlah, betapa indah sinar di wajahnya. Matanya, tersimpan energi yang sanggup melumerkan hatimu.
Dan menikmati semua fase yang telah Tuhan tawarkan padanya.
"Karena di balik mendung dan badai yang kejam, ada sinar mentari yang menungguku..."
Senyumnya mengembang. Manis.
Tersenyumlah!
Komentar
Posting Komentar