“Sering kali, untuk bersyukur atas sesuatu
adalah ketika ia tak lagi di sisimu”
Ya, manusia
adalah tempat salah dan khilaf. Seringkali kita tidak menyadari apa-apa yang telah
kita dapatkan dan lupa bersyukur pada Tuhan atas segala nikmat yang telah Dia
berikan pada kita. Begitu pula saya. Bahwa untuk memahami arti kehadiran
seseorang yang begitu memberikan berpengaruh adalah ketika akhirnya saya harus
jauh dari sisinya.
Ketika saya mendapatkan tugas mengarang tentang profil seseorang yang menjadi insprasi, saya begitu kebingungan, siapakah profil dalam hidup saya yang menginspirasi saya? Adakah yang benar-benar bisa memotivasi saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi? Saya belum bisa menemukan jawabannya hingga malam sebelum dateline tugas ini berakhir. “Mengapa begitu repot mengingat-ingat dan mencari siapakah orang itu ketika tenyata orang itu adalah orang terdekat kamu?” tanya saya pada diri sendiri.
Ibu. Wanita
tertangguh yang pernah hidup di dunia ini. Wanita yang telah melahirkan saya ke
dunia, yang telah membesarkan saya dengan penuh rasa tanggung jawab, wanita
yang selalu menjadi inspirasi saya..yang baru benar-benar saya sadari saat saya
jauh darinya, ketika jarak fisik memisahkan kami, yaitu setelah saya ditakdirkan
Tuhan melanjutkan pendidikan sarjana saya di ranah Sunda, sekitar 350Km dari
kota kelahiran saya. Dan saya patut bersyukur, tugas ini menjadi perantara bagi
saya untuk mengingat-ingat kembali hal-hal yang telah beliau lakukan untuk saya
dan saudara-saudara saya hingga kami tumbuh dan menjadi pribadi seperti
sekarang ini.
Ketika saya
masih kecil, ibu selalu mendongengi kami setiap malam, sebelum tidur. Dengan
gaya bercerita yang sangat menarik, membuat kami selalu menanti-nanti datangnya
malam dan menyaksikan beliau mendongengi kami. Saat bercerita, beliau sering
menirukan dialek dan membut mimic muka yang sesuai dengan tokoh dari dongeng
tersebut. Bahkan beliau tidak sungkan untuk berguling-guling demi penguatan
cerita di atas tempat tidur yang dipenuhi anak-anaknya dengan mata yang tiada
berhenti memelototi setiap detil gerakan dan kata-kata beliau. Saya cukup
beruntung masih menemui saat ketika beliau memiliki cukup waktu untuk itu,
karena sekarang adik-adik saya jarang mendapatkan dongeng sebelum tidur
darinya, karena kesibukan beliau. Mungkin itulah yang membuat saya ketika
beranjak dewasa menjadi begitu menyukai sastra dan gemar mengikuti perlombaan story telling dalam bahasa Inggris.
Ketika saya
mulai masuk Sekolah Dasar, ibu saya berusaha mendisiplinkan dirinya untuk
sekedar menanyakan kemajuan-kemajuan dan pelajaran apa yang saya dapatkan hari
itu. Ketika ada tugas, ibu menunggui dan membantu saya mengerjakan tugas itu,
dan seringkali mengajari saya –dengan gusar—saat melihat saya tidak terlalu
paham atas pelajaran di sekolah. Beruntung, saya memiliki ibu yang cerdas dan
bernaluri kuat. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan dengan kuatnya ikatan
antara ibu dan anak, masih saat saya duduk di bangku sekolah dasar, suatu
ketika saya beum pulang saat seharusnya saya sudah sampai rumah. Saya tidak
terlalu ingat apa yang menyebabkan saya belum bisa pulang segera, tapi saya
teringat betapa saya ketakutan untuk berjalan sendiri melewati jalan setapak
yang menghubungkan rumah saya dengan sekolah. Saat saya begitu kalut terduduk
di depan kelas tanpa tahu apa yang harus saya perbuat, tiba-tiba sesosok wanita
datang dan merangkul bahu kecil saya. Ibu!
Saya segera memeluk ibu kuat-kuat dan mengikuti langkah beliau berjalan pulang
ke rumah sambil menggenggam tangan beliau sepanjang perjalanan dengan hati yang
begitu berbunga-bunga. Tidak semua anaknya pernah mendapat pengalaman dijemput
ibu karena sebenarnya jarak dari rumah ke sekolah tidak jauh.
Selanjutnya
hari-hari terasa kurang berkesan saat saya bertambah besar. Komunikasi antara
saya dan ibu berjalan lancar tanpa ada kenangan yang memiliki kesan kuat di
hati saya. Sekolah Menengah Petama, ya begitu-begitu saja. Sekolah Menengah
Atas, juga biasa saja. Mungkin karena saya terlalu sibuk mengurusi diri sendiri
dan mendapat teman baru sehingga seringkali lupa akan keberadaan ibu. Atau
mungkin karena lahirnya adik-adik saya berturut-turut nyaris setiap tahun yang
menyita perhatian ibu saya. Ini berubah
ketika saya berada di tahun terakhir SMA, saat saya masih belum menemukan Universitas
dan jurusan mana yang harus saya pilih. Ibu saya begitu telaten menasihati dan
mengarahkan saya mengambil jurusan mana yang sekiranya sesuai untuk saya dan
mungkin saya masuki. Ketika saya ditolak masuk universitas yang saya impikan
dan merupakan almamater ayah dan ketiga kakak saya—UGM—ibulah yang menenangkan
saya dan meminta saya untuk belajar lebih giat lagi demi menghadapi ujian
tertulis.
Saat
akhirnya saya diterima di Sastra Jepang di Universitas Padjadjaran, Jawa Barat,
ibu menatap saya dengan mata berkaca-kaca. Saya adalah anak pertama dari
keluarga yang menempuh pendidikan kesarjanaan jauh dari keluarga. Tinggal jauh
dari rumah rupanya memperkuat ikatan di antara kami. Saya menjadi sering
menelepon ibu sekedar untuk menanyakan kabar ibu, ayah dan saudara-saudara saya.
Ketika ada hal-hal baru, ada apa saja yang terjadi pada saya, saya ceritakan
kepada ibu. Beliau selalu mendorong saya untuk menjadi lebih baik. Ibu selalu
bisa memainkan perannya dengan baik, menjadi teman yang memahami kehidupan anak
muda saat saya membahas trend dan hal-hal yang anak muda banget, menjadi ibu
yang mengayomi dan penuh nasihat saat saya dilanda masalah, menjadi teman
diskusi yang menyenangkan dan sebagainya.
Ibu tidak pernah memaksa saya mengikuti
keinginan beliau dalam hal menjadi siapakah saya. Ibu hanya memberikan contoh
langsung dengan perbuatannya. Hal yang sering saya abaikan, dan beruntung pada akhirnya
saya memahami maksud beliau. Saya termotivasi untuk menjadi lebih, lebih dan
lebih baik lagi.Baik tentang pribadi saya, tentang studi saya, tentang cara
saya memperlakukan orang lain, tentang hidup saya. Mengubah sudut pandang saya,
membuka diri pada hal-hal baru dan mencari lebih banyak pengalaman untuk memperkaya diri. Tentang menyikapi
masalah dengan tenang dan kepala dingin. Tentang bermimpi lebih tinggi dan
berjuang untuk meraihnya. Tentang menjadi wanita dewasa yang bepikiran positif
atas segala hal. Tentang selalu bersyukur kepada Tuhan atas semua anugerah yang
ada dalam hidup saya, yang perlahan-lahan membentuk kepribadian saya.
Beberapa hari yang lalu saat saya menceritakan
mimpi-mimpi dan obsesi saya, ibu mengatakan, “Kejarlah obsesi dan mimpimu, nak. Lakukan yang terbaik!” Dan ketika
saya bicara terlalu cepat dalam bahasa Inggris, ibu meminta saya untuk memperlambat kata-kata
saya. Baru saat itulah saya mulai merasa bahwa ibu tak lagi muda. Ibu semakin
menua. Sontak, hati saya bergetar. Saya menetapkan diri untuk bisa membuat
bangga dan membahagiakan ibu sesegera mugkin. Saya berjanji dalam hati untuk
tidak mengecewakan ibu. Berharap bahwa ibu dapat menyaksikan saya menjadi
sarjana humaniora, memeluk saya dengan haru dan kemudian melihat saya
menyongsong mimpi-mimpi saya yang lainnya. Semoga Tuhan berkenan mengabulkan.
Amiin.
Komentar
Posting Komentar