"Kau bisa memanggilku Bumi, atau rindu.."
Hari itu, lima tahun yang lalu. Kita tertawa di tengah derasnya hujan.Menertawakan semut-semut kecil yang kebingungan mencari arah jalan pulang, menertawakan kecipak danau yang diserang oleh angsa liar, menertawakan semua.
Menautkan jemari? Tidak. Yang kami tahu, kami menyimpan rasa bagi satu sama lain.
"Lihat! Kelopaknya mulai mekar!"
Aku bersemangat menunjuk-nunjuk pada sekuntum mawar. Klise. Tapi, tahukah?
Kami hanya berlarian layaknya anak ingusan yang bahagia, tanpa sedikitpun khawatir akan masa depan.
"Ini untukmu. Jangan lupakan aku, ya!"
Tawaku pecah, tidak, betapa polosnya aku. Kami berjalan ke kompleks rumah dengan perasaan membuncah.
Bumi takdatang sekolah esoknya.
Dan esoknya.
Dan esoknya.
Hari itu, lima tahun yang lalu. Kita tertawa di tengah derasnya hujan.Menertawakan semut-semut kecil yang kebingungan mencari arah jalan pulang, menertawakan kecipak danau yang diserang oleh angsa liar, menertawakan semua.
Menautkan jemari? Tidak. Yang kami tahu, kami menyimpan rasa bagi satu sama lain.
"Lihat! Kelopaknya mulai mekar!"
Aku bersemangat menunjuk-nunjuk pada sekuntum mawar. Klise. Tapi, tahukah?
Kami hanya berlarian layaknya anak ingusan yang bahagia, tanpa sedikitpun khawatir akan masa depan.
"Ini untukmu. Jangan lupakan aku, ya!"
Tawaku pecah, tidak, betapa polosnya aku. Kami berjalan ke kompleks rumah dengan perasaan membuncah.
Bumi takdatang sekolah esoknya.
Dan esoknya.
Dan esoknya.
Komentar
Posting Komentar